Penulis: Agung Laksamana, Ketua Umum Perhumas
Pada sebuah
kesempatan, actor Danzel Washington mendapat pertanyaan dari seorang jurnalis
tentang pandangannya terhadap dunia media. Dan, Denzel pun menjawab lugas, "If you don't read the newspaper,
you're uninformed. If you do read it, you're misinformed.” (Jika Anda tidak
membaca berita, Anda tidak akan mendapatkan informasi. Namun, jika Anda
membaca, Anda menjadi mendapat informasi yang salah).
“Lantas apa
yang Anda lakukan?” tanya wartawan itu kembali. “Itu pertanyaan yang baik!”
kata Denzel. “Apa dampaknya jika kita terlalu banyak mendapatkan informasi?
Efeknya adalah kita ingin mendapatkan informasi secepat-cepatnya, bukan yang
benar. Karenanya, media harus menyiarkan sebuah kebenaran. Bukan yang pertama,”
kata Denzel kembali.
Aktor
kenamaan itu mengatakan lebih jauh bahwa saat ini kita hidup di mana arus
informasi terus hadir dan ingin menjadi yang pertama. Mereka tidak lagi peduli
dengan apa yang terjadi di luar sana. “Kita seakan tidak peduli ketika ada yang
terluka. Kita tidak peduli jika ada yang hancur. Kita tidak lagi peduli
meskipun hal yang ada tidaklah benar. Kita hanya memberitakan, dan menjualnya,”
kata Denzel.
Apa yang
dikatakan Denzel memang benar adanya. Inilah realita yang kita hadapi. Dunia
teknologi telah mengubah wajah media di seluruh dunia dan menjadikan kecepatan
menjadi hal yang utama. Prinsip yang dihadirkan pun sangat sederhana.
Menghadirkan konten secepat-cepatnya dengan judul yang bombastis dan
menomorduakan kebenaran atau fakta yang ada. Bahkan demi klik bermunculan hoaxes dan fake news.
Lantas,
bagaimana jika ternyata berita yang disajikan salah? Toh, nanti bisa direvisi
pada berita selanjutnya. Jika memang menjadi masalah, media yang bersangkutan
cukup merevisi atau meminta maaf. Masalah pun akan selesai!. Namun
sebenarnya tidak semudah itu!. Dengan berita tersebut, bisa jadi
reputasi dan brand Anda telah hilang.
Sirna! Damage has been done!
Mudahnya
begini. Berita cepat itu pasti menghasilkan dampak. Bisa saja informasi telah
menyebar luas sehingga membuat arus informasi menjadi bisa. Masyarakat, dalam
hal ini pembaca akan mendapatkan informasi yang salah. Jika pembaca terus
mengikuti media yang bersangkutan, mungkin saja mereka akan mengikuti pula
‘revisi’ yang terjadi. Namun, bagaimana jika tidak? Maka pembaca itu akan
hanyut dalam sebuah ketidakbenaran informasi.
Dalam era
disrupsi seperti sekarang, pertanyaan besar yang selalu diutarakan adalah
bagaimana masa depan industri media nanti? Tumbangnya sejumlah media cetak di
dunia membuat mereka berbondongbondong ke ranah digital. Dunia online pun
menjadi masa depan.
Namun, media
online yang ada di dunia, termasuk Indonesia sangatlah banyak. Persaingan membuat
banyak media online yang datang silih berganti, harus menghadapi sulitnya
mendapatkan iklan, dan memaksa pemain untuk terus mencari akal agar bisa
bertahan.
Berbagai
skema bisnis pun diubah setiap saat. Ada yang masih mengharapkan iklan, ada
yang mengharapkan klik sebagai tujuan, ada yang menghadirkan berita
secepat-cepatnya, ada yang menjual langganan berbayar, mencari investor baru,
dan masih banyak lagi. Semua skema bisnis tengah diuji coba oleh media di dunia
untuk bertahan. Akhirnya klik menjadi hal yang utama.
Jika
media-media konvensional yang kredibel ini semakin tergerus disrupsi perubahan
zaman alias menghamba pada klik maka publik pun akan sulit mencari media yang
layak mereka percaya (trusted) sebagai fondasi atas sebuah kebenaran. Alhasil,
hoaxes dan fake news akan menjadi referensi publik dan memenuhi lanskap berita
yang sudah dipenuhi agenda setting pemilik kepentingan di luar sana.
Ini
meresahkan!. Hal ini
tidak luput dari perhatian dan kegusaran praktisi hubungan masyarakat (Humas),
termasuk saya. Media dan Humas adalah satu kesatuan yang sulit terpisahkan.
Humas
membutuhkan media, begitu pula sebaliknya, sebuah hubungan yang saling
menghormati dan menguntungkan (mutually beneficial relationship). Layaknya
seorang sahabat, kesulitan yang dihadapi oleh pelaku media di Indonesia saat
ini tentunya mengundang perhatian praktisi humas.
Pada 9
Februari, insan pers Indonesia memperingati Hari Pers Nasional. Praktisi humas
yang ada di Indonesia, tentunya berharap besar agar pelaku pers di Indonesia
serta awak media yang ada di dalamnya dapat terus tumbuh berkembang. Saya pun
berharap agar media di Indonesia semakin matang dan bisa menjaga idealisme dan
integrity-nya. Ekspektasi para praktisi Humas adalah media di Indonesia dapat
mempertahankan keakuratannya.
Tidak saja
mengandalkan kecepatan dan menomorduakan kebenaran. Tidak semata hanya mencari
klik, melainkan selalu mengutamakan kekuatan konten dan trust. Humas pun
berharap teman-teman media
di Indonesia dapat menjalankan fungsi peran strategisnya, yaitu sebagai pilar
keempat demokrasi.
Tanpa adanya
media maka negara ini pun tak akan bisa bertahan seperti sekarang ini. Di
tengah ketatnya persaingan konten dan arus tsunami informasi yang cepat dan
deras, reputasi dari sebuah brand
media yang trusted menjadi kritikal
bagi publik saat ini. Media yang secara konsisten mampu memperjuangkan
keakuratan, kebenaran, in-depth dalam
konten serta keberimbangan yang akan bertahan.
Masyarakat
Indonesia pun pada akhirnya bisa menyeleksi mana media yang layak mereka
jadikan referensi. Dengan kata lain, media yang mereka percayai. Trust! Lebih
jauh lagi, harapan praktisi Humas agar konten media di Indonesia untuk terus
membangkitkan semangat optimisme dengan #Indonesiabicarabaik! Berbahasa dan
bertutur kata yang baik! Karena Indonesia membutuhkan Anda semua, sahabatku,
para awak media.
Selamat Hari
Pers Nasional!
Diterbitkan
Bisnis Indonesia, 9 February 2018