Dewan Pers tengah menyiapkan pembuatan barcode untuk media pers guna membendung keberadaan media ‘abal-abal’.
Media pers adalah media yang memenuhi kode etik, azas pers sebagai
ditetapkan dalam undang-undang, serta memenuhi standar perusahaan pers.
Langkah ini dilakukan setelah beberapa waktu terakhir ini marak penyebaran konten paham radikalisme dan hoax yang dilakukan oleh media ‘abal-abal’. Kondisi tersebut membuat Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) berkali-kali memblokir media-media bermuatan negatif, termasuk 11 media mengandung unsur SARA.
Imam Wahyudi, anggota Dewan Pers, menjelaskan, nantinya media yang mendapat barcode hanya media cetak dan online yang tercatat sebagai perusahaan pers yang standarisasinya sesuai ketentuan yang ada di Dewan Pers. “Untuk yang non pers, ya terserah itu bukan urusan kami,” ujarnya dikutip dari merdeka.com.
Kemenkominfo pun sebelum memblokir media online, Imam mengaku lebih dulu konfirmasi ke Dewan Pers. Kalau media pers tentu tidak akan diblokir, tapi diproses sesuai UU Nomor 40 tahun 1999. “Kalau bukan media pers berarti wilayahnya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dan itu ada UU-nya sendiri, jadi silakan media non pers diproses sesuai UU yang berlaku,” katanya.
Pembuatan barcode ini, tutur dia, merupakan pelaksanaan Deklarasi Palembang 2010 saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN). Saat itu, ada empat peraturan Dewan Pers yang diratifikasi oleh sebagian besar pemilik media besar di Indonesia, yakni standar perusahaan pers, kode etik jurnalistik, standar perlindungan profesi wartawan, dan standar kompetensi wartawan.
Imam menambahkan penggunaan barcode itu akan dilakukan saat HPN di Ambon tahun 2017. Dengan adanya barcode itu, profiling media pers akan bisa diakses dalam database Dewan Pers dan bisa diketahui jatidiri perusahaan pers, alamat, penanggungjawab, redaksi, dan badan hukum.
Penggunaan barcode itu juga akan memudahkan untuk memilah mana yang media pers dan bukan media pers. Jika barcode sudah diberlakukan, yang tidak terdaftar di Dewan Pers berarti bukan media pers. Kalau melanggar, mereka tidak berada di wilayah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Selama ini, Dewan Pers mengaku sering menemukan kecenderungan media non pers isinya tidak menaati azas-azas dan kode etik, tapi saat ada masalah maunya dianggap pers. “Itu namanya penumpang gelap,” tutup Imam.
Langkah ini dilakukan setelah beberapa waktu terakhir ini marak penyebaran konten paham radikalisme dan hoax yang dilakukan oleh media ‘abal-abal’. Kondisi tersebut membuat Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) berkali-kali memblokir media-media bermuatan negatif, termasuk 11 media mengandung unsur SARA.
Imam Wahyudi, anggota Dewan Pers, menjelaskan, nantinya media yang mendapat barcode hanya media cetak dan online yang tercatat sebagai perusahaan pers yang standarisasinya sesuai ketentuan yang ada di Dewan Pers. “Untuk yang non pers, ya terserah itu bukan urusan kami,” ujarnya dikutip dari merdeka.com.
Kemenkominfo pun sebelum memblokir media online, Imam mengaku lebih dulu konfirmasi ke Dewan Pers. Kalau media pers tentu tidak akan diblokir, tapi diproses sesuai UU Nomor 40 tahun 1999. “Kalau bukan media pers berarti wilayahnya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dan itu ada UU-nya sendiri, jadi silakan media non pers diproses sesuai UU yang berlaku,” katanya.
Pembuatan barcode ini, tutur dia, merupakan pelaksanaan Deklarasi Palembang 2010 saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN). Saat itu, ada empat peraturan Dewan Pers yang diratifikasi oleh sebagian besar pemilik media besar di Indonesia, yakni standar perusahaan pers, kode etik jurnalistik, standar perlindungan profesi wartawan, dan standar kompetensi wartawan.
Imam menambahkan penggunaan barcode itu akan dilakukan saat HPN di Ambon tahun 2017. Dengan adanya barcode itu, profiling media pers akan bisa diakses dalam database Dewan Pers dan bisa diketahui jatidiri perusahaan pers, alamat, penanggungjawab, redaksi, dan badan hukum.
Penggunaan barcode itu juga akan memudahkan untuk memilah mana yang media pers dan bukan media pers. Jika barcode sudah diberlakukan, yang tidak terdaftar di Dewan Pers berarti bukan media pers. Kalau melanggar, mereka tidak berada di wilayah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Selama ini, Dewan Pers mengaku sering menemukan kecenderungan media non pers isinya tidak menaati azas-azas dan kode etik, tapi saat ada masalah maunya dianggap pers. “Itu namanya penumpang gelap,” tutup Imam.