Agung Laksamana
Ketua Umum BPP Perhumas Indonesia
Dalam sebuah kesempatan, saya pernah mendapat dua
pertanyaan ini sekaligus. Apa persamaan antara Obama, Putin, Toyota, Korea
Selatan, serta Donald Trump? Dan apa yang dibutuhkan untuk membangun reputasi
Indonesia?
Mungkin tidak terlihat korelasi yang jelas dalam pertanyaan ini. Namun, dalam hemat saya, ada kesamaan atas jawaban keduanya, yaitu kemampuan dalam managing perception (manajemen persepsi).
Dari berbagai literatur kehumasan dan pengamatan selama ini, saya melihat salah satu fungsi peran strategis humas itu adalah managing perception. Mengapa penting? Pertama, pengelolaan persepsi diperlukan untuk membangun reputasi tidak saja bagi sebuah negara seperti Amerika Serikat atau India, misalnya, tapi juga korporasi seperti di perusahaan Global Fortune 500, juga seorang presiden seperti Obama dan Vladimir Putin, CEO perusahaan dunia hingga individu sekalipun.
Seorang praktisi humas dari Pakistan pernah menuliskan betapa beratnya menjadi humas di sana. Betapa sulitnya menjual berita positif tentang Pakistan ke dunia internasional karena yang lebih menarik tentunya berita negatif di sana dan isu terorisme.
Kedua, setiap individu, organisasi, dan negara secara strategis perlu mengelola persepsi tentang diri mereka kepada para pemangku kepentingan agar bisa mengubah opini dan menunjukkan kinerja sukses selama ini. Disayangkan masih banyak yang belum memahami fungsi humas secara konkret.
Persepsi yang timbul dari kebanyakan orang, bisa jadi dari praktisi humas sendiri, hanya melihat fungsi humas hanya sebatas menggelar konferensi pers, membuat event, rilis, mendokumentasi acara serta protokoler semata jauh dari tataran strategis.
Hal ketiga adalah agenda setting. Peran strategis humas tidak akan berjalan efektif jika humas tidak memiliki agenda setting yang jelas. Baiklah, terminologi agenda setting bisa berkonotasi propaganda.
Bisa jadi Anda benar. Namun, dalam konteks ini, saya melihat kekuatan agenda setting dalam membentuk opini publik atas organisasi Anda, Anda sebagai individu, bahkan terhadap reputasi Indonesia sebagai sebuah brand.
Terminologi agenda setting sering digunakan dalam konteks pengelolaan isu di berbagai medium, baik media konvensional (cetak, daring, penyiaran), media sosial, maupun situs pribadi atau perusahaan. Tujuannya agar sebuah isu menjadi ramai dan menggiring opini masyarakat. Meski ada yang memiliki tujuan tidak mulia seperti menghancurkan reputasi seseorang, tapi di sisi lain, menurut hemat saya, lebih banyak yang melakukannya demi tujuan positif.
Dalam risetnya, Sallot dan Johnson (2006), melakukan survei terhadap pers di Amerika Serikat (AS). Temuan mengejutkan bahwa sekitar 44 persen media berita di AS dipengaruhi oleh praktisi humas.
Menurut mereka, setiap kali seorang humas mengirimkan siaran pers atau undangan konferensi pers atas klien mereka, maka media pun akan memasukkan isu yang diangkat dalam siaran-konferensi itu ke dalam agenda setting mereka. Bahkan, surat kabar bergengsi seperti the Washington Post dan New York Times dengan staf investigasi terbesar mendapatkan lebih dari setengah konten mereka dari siaran dan konferensi pers.
Oleh karena itu, praktisi humas harus memiliki kompetensi layaknya seorang chief editor atau newsroom head saat ini. Kemampuan menghasilkan konten yang menarik baik tulisan, foto, dan video, serta menyebarkannya sesuai target audience agar tepat sasaran.
Mungkin tidak terlihat korelasi yang jelas dalam pertanyaan ini. Namun, dalam hemat saya, ada kesamaan atas jawaban keduanya, yaitu kemampuan dalam managing perception (manajemen persepsi).
Dari berbagai literatur kehumasan dan pengamatan selama ini, saya melihat salah satu fungsi peran strategis humas itu adalah managing perception. Mengapa penting? Pertama, pengelolaan persepsi diperlukan untuk membangun reputasi tidak saja bagi sebuah negara seperti Amerika Serikat atau India, misalnya, tapi juga korporasi seperti di perusahaan Global Fortune 500, juga seorang presiden seperti Obama dan Vladimir Putin, CEO perusahaan dunia hingga individu sekalipun.
Seorang praktisi humas dari Pakistan pernah menuliskan betapa beratnya menjadi humas di sana. Betapa sulitnya menjual berita positif tentang Pakistan ke dunia internasional karena yang lebih menarik tentunya berita negatif di sana dan isu terorisme.
Kedua, setiap individu, organisasi, dan negara secara strategis perlu mengelola persepsi tentang diri mereka kepada para pemangku kepentingan agar bisa mengubah opini dan menunjukkan kinerja sukses selama ini. Disayangkan masih banyak yang belum memahami fungsi humas secara konkret.
Persepsi yang timbul dari kebanyakan orang, bisa jadi dari praktisi humas sendiri, hanya melihat fungsi humas hanya sebatas menggelar konferensi pers, membuat event, rilis, mendokumentasi acara serta protokoler semata jauh dari tataran strategis.
Hal ketiga adalah agenda setting. Peran strategis humas tidak akan berjalan efektif jika humas tidak memiliki agenda setting yang jelas. Baiklah, terminologi agenda setting bisa berkonotasi propaganda.
Bisa jadi Anda benar. Namun, dalam konteks ini, saya melihat kekuatan agenda setting dalam membentuk opini publik atas organisasi Anda, Anda sebagai individu, bahkan terhadap reputasi Indonesia sebagai sebuah brand.
Terminologi agenda setting sering digunakan dalam konteks pengelolaan isu di berbagai medium, baik media konvensional (cetak, daring, penyiaran), media sosial, maupun situs pribadi atau perusahaan. Tujuannya agar sebuah isu menjadi ramai dan menggiring opini masyarakat. Meski ada yang memiliki tujuan tidak mulia seperti menghancurkan reputasi seseorang, tapi di sisi lain, menurut hemat saya, lebih banyak yang melakukannya demi tujuan positif.
Dalam risetnya, Sallot dan Johnson (2006), melakukan survei terhadap pers di Amerika Serikat (AS). Temuan mengejutkan bahwa sekitar 44 persen media berita di AS dipengaruhi oleh praktisi humas.
Menurut mereka, setiap kali seorang humas mengirimkan siaran pers atau undangan konferensi pers atas klien mereka, maka media pun akan memasukkan isu yang diangkat dalam siaran-konferensi itu ke dalam agenda setting mereka. Bahkan, surat kabar bergengsi seperti the Washington Post dan New York Times dengan staf investigasi terbesar mendapatkan lebih dari setengah konten mereka dari siaran dan konferensi pers.
Oleh karena itu, praktisi humas harus memiliki kompetensi layaknya seorang chief editor atau newsroom head saat ini. Kemampuan menghasilkan konten yang menarik baik tulisan, foto, dan video, serta menyebarkannya sesuai target audience agar tepat sasaran.
Dengan agenda yang jelas serta pengelolaan pemangku kepentingan dan media yang baik, kandungan isu dapat tersaji menarik, news worthy, dan meraih apresiasi publik. Kompleksitas ini memberi indikasi peran humas tidaklah mudah dan bukan sekadar delivery service dalam bentuk siaran atau konferensi pers semata. Lebih kritis lagi, peran fungsi humas selayaknya adalah strategis!
Dalam konteks makro membangun reputasi Indonesia, humas pemerintah semakin dituntut untuk menerjemahkan visi-misi Presiden Jokowi tiga tahun ke depan dalam agenda setting program kerja kehumasan yang tepat sasaran. Mengapa ini menjadi barometer penting, karena persepsi itu tadi.
Jika Indonesia ingin direalisasikan sebagai "invest to grow country", artinya perlu agenda setting yang jelas untuk membangun persepsi Indonesia di mata global. Implikasi dan indikator suksesnya tentu saja berdampak positif terhadap peningkatan perekonomian nasional, baik perdagangan, turisme, dan investasi.
Di sinilah peran humas pemerintah menjadi strategis. Konsistensi pesan dan kejelasan agenda setting menjadi kritikal. Mari kita ambil contoh lain, jika infrastruktur dan tax amnesty menjadi agenda setting, idealnya setiap humas pemerintah harus menyuarakan hal yang sama sehingga terjadi konsistensi.
Jangan sampai kementerian A berbicara tentang keuntungan tax amnesty, tapi kementerian B justru menentangnya. Alangkah anehnya jika kementerian C berbicara bahwa infrastruktur adalah hal yang penting untuk menarik investasi, tapi kementerian D justru berbicara infrastruktur menghadapi hambatan internal.
Ibarat sebuah paduan suara dan simfoni orkestra, harmonisasi sangatlah penting. Kalau ada suara yang sumbang, pasti terdengar oleh telinga audiensi Anda bukan?
Jika kita kembali pada pertanyaan awal, apa yang dibutuhkan untuk membangun reputasi Indonesia? Dalam hemat saya, manajemen persepsi dengan agenda setting yang jelas! Dan, jika dikelola dengan benar, maka 250 juta penduduk kita ini akan menjadi humas bagi bangsa Indonesia.