Dewan Perwakilan Rakyat segera membahas Rancangan Undang-Undang tentang Kewajiban Tanggung Jawab Sosial atau corporate social responsibilty (CSR)
demi memperluas kewajiban CSR bagi semua perusahaan di Indonesia.
Selain itu, besaran anggarannya pun akan dipatok dalam persentase
tertentu dari total keuntungan perusahaan.
“Semangat pengusulan RUU itu karena CSR selama ini tidak diatur jadi banyak perusahaan yang tidak melakukannya dengan baik. Bahkan ada yang hanya sekadar mengalokasikan dana untuk public relations saja,” kata anggota Komisi VIII DPR, Rahayu Saraswati.
Saat ini, kata dia, pembahasan RUU CSR belum dapat dilakukan karena sempat tersendat saat pembahasan APBNP 2016. Namun, Rahayu menegaskan calon beleid tersebut akan diupayakan rampung paling lambat pada akhir 2016 ini.
“Secepatnya akan dibahas agar selesai sesuai jadwal karena sudah masuk dalam prioritas tahun ini,” tuturnya, tanpa menyebutkan persentase alokasi dana CSR dalam calon beleid ini.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid menjelaskan kegiatan CSR harus berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan di daerah. Oleh sebab itu, RUU CSR harus bermanfaat bagi masyarakat.
Dia mengingatkan fungsi CSR bukan untuk menghindarkan perusahaan dari pungutan-pungutan liar, tapi harus terarah kepada pengentasan kemiskinan.
“Pengaturan CSR dalam sebuah undang-undang akan memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan tanggung jawab sosial,” ujarnya.
Apindo Menolak
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta agar pemerintah dan DPR cermat dalam pembahasan RUU tentang Kewajiban Tanggung Jawab Sosial (CSR) karena berpotensi mengurangi daya saing industri.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, sudah cukup mewadahi kepentingan dunia usaha dalam mengatur dana sosial.
Menurutnya, semangat CSR itu bersifat voluntary. Dalam UU No. 40/2007, kewajiban CSR berlaku bagi perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam. Di dunia ini satu-satunya yang mau membuat aturan tentang CSR adalah Indonesia.
“Inggris yang dianggap sebagai nenek moyang CSR, tidak membuat UU CSR,” ujarnya dikutip dari Bisnis Indonesia, Rabu (31/8).
Ketua Tim Kebijakan Publik Apindo, Timotheus Lesmana menyatakan RUU terkait CSR ini sejatinya tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. Oleh karena itu, pihaknya menolak RUU itu, karena pada prinsipnya CSR itu bersifat sukarela bukan mandatory atau kewajiban. “Kalau mandatory apa bedanya dengan pajak,” katanya.
RUU tersebut, tutur dia, berpotensi tidak mendukung iklim usaha dan justru semakin menambah berat beban para pelaku usaha. Selain itu, pengusaha keberatan mengenai mekanisme pengelolaan dan pengontrolan dana CSR agar tidak disalahgunakan.
Untuk itu, Apindo secara proaktif akan melakukan advokasi dengan Kementerian Hukum dan HAM. Sebab RUU ini kental dengan aroma politis dan selalu muncul dalam pembahasan sekitar 2 tahun—3 tahun sebelum pemilihan umum.
“Semangat pengusulan RUU itu karena CSR selama ini tidak diatur jadi banyak perusahaan yang tidak melakukannya dengan baik. Bahkan ada yang hanya sekadar mengalokasikan dana untuk public relations saja,” kata anggota Komisi VIII DPR, Rahayu Saraswati.
Saat ini, kata dia, pembahasan RUU CSR belum dapat dilakukan karena sempat tersendat saat pembahasan APBNP 2016. Namun, Rahayu menegaskan calon beleid tersebut akan diupayakan rampung paling lambat pada akhir 2016 ini.
“Secepatnya akan dibahas agar selesai sesuai jadwal karena sudah masuk dalam prioritas tahun ini,” tuturnya, tanpa menyebutkan persentase alokasi dana CSR dalam calon beleid ini.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Mudjahid menjelaskan kegiatan CSR harus berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan di daerah. Oleh sebab itu, RUU CSR harus bermanfaat bagi masyarakat.
Dia mengingatkan fungsi CSR bukan untuk menghindarkan perusahaan dari pungutan-pungutan liar, tapi harus terarah kepada pengentasan kemiskinan.
“Pengaturan CSR dalam sebuah undang-undang akan memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan tanggung jawab sosial,” ujarnya.
Apindo Menolak
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta agar pemerintah dan DPR cermat dalam pembahasan RUU tentang Kewajiban Tanggung Jawab Sosial (CSR) karena berpotensi mengurangi daya saing industri.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, sudah cukup mewadahi kepentingan dunia usaha dalam mengatur dana sosial.
Menurutnya, semangat CSR itu bersifat voluntary. Dalam UU No. 40/2007, kewajiban CSR berlaku bagi perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam. Di dunia ini satu-satunya yang mau membuat aturan tentang CSR adalah Indonesia.
“Inggris yang dianggap sebagai nenek moyang CSR, tidak membuat UU CSR,” ujarnya dikutip dari Bisnis Indonesia, Rabu (31/8).
Ketua Tim Kebijakan Publik Apindo, Timotheus Lesmana menyatakan RUU terkait CSR ini sejatinya tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. Oleh karena itu, pihaknya menolak RUU itu, karena pada prinsipnya CSR itu bersifat sukarela bukan mandatory atau kewajiban. “Kalau mandatory apa bedanya dengan pajak,” katanya.
RUU tersebut, tutur dia, berpotensi tidak mendukung iklim usaha dan justru semakin menambah berat beban para pelaku usaha. Selain itu, pengusaha keberatan mengenai mekanisme pengelolaan dan pengontrolan dana CSR agar tidak disalahgunakan.
Untuk itu, Apindo secara proaktif akan melakukan advokasi dengan Kementerian Hukum dan HAM. Sebab RUU ini kental dengan aroma politis dan selalu muncul dalam pembahasan sekitar 2 tahun—3 tahun sebelum pemilihan umum.