WAH…pengojek berbasis aplikasi online geram dengan keputusan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang resmi melarang roda dua maupun taksi berbasis online
beroperasi pada hari Kamis, 17 Desember 2015. Pelarangan itu tertuang
dalam Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 yang
ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, tertanggal 9
November 2015.
Melihat keputusan di atas mungkin saja Anda sebagai penikmat dan pelaku ojek online pasti marah, bahkan mencaci maki terhadap kebijakan tersebut.
Namun, sehari setelahnya, Menhub Jonan melunak terhadap keputusannya sendiri. Jonan menyadari sarana transportasi publik saat ini belum sepenuhnya bisa melayani kebutuhan masyarakat Indonesia, terutama di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
“Solusinya bagaimana? Kalau ini mau dianggap solusi sementara ya silakan, sampai transportasi publiknya baik,” ujar Jonan, Jumat (18/12). Apakah langkah mantan Dirut KAI itu salah? Tentu tidak..!
Mari kita tengok peraturan yang mengatur tentang transportasi umum. Dasar hukum penyelenggaraan angkutan orang dan angkutan barang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum, dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 69 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang.
Berdasarkan aturan di atas ketegasan Menhub Ignasius Jonan diruntuhkan oleh pernyataan Presiden Jokowi yang memperbolehkan ojek dan taksi online terus beroperasi. Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta pun menilai, Presiden Jokowi mengajak menterinya untuk melanggar undang-undang (UU).
“Padahal menterinya sudah berbuat untuk menegakkan dan menjalankan aturan,” kata Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan, dikutip dari Republika.co.id, Jumat (18/12).
Tidak Koordinasi
Pihak Istana Kepresidenan mengakui pelarangan ojek berbasis online merupakan kewenangan Kementerian Perhubungan yakni tingkat Dirjen Perhubungan Darat. Karena itu kebijakan yang dirilis Menhub tidak lebih dahulu dikoordinasikan kepada Presiden Joko Widodo.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan, Presiden langsung merespon kebijakan tersebut karena pengguna ojek online yang semakin besar jumlahnya atau lebih dari 200 ribu. “Kita merasa Go-Jek dan lainnya harus diberikan apresiasi kemudahan. Jangan malah dilarang,” katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi V DPR, Miryam S Haryani, menilai koordinasi antara Presiden Jokowi dengan Menhub Ignasius Jonan belum berjalan dengan baik. Sikap tersebut semakin menunjukkan bahwa koordinasi antara Presiden dengan Menteri belum berjalan dengan baik. “Terbukti masih seringkali terjadi miss communication di dalamnya, kasus ojek online ini salah satunya,” katanya, dikutip dari Sindonews, Jumat 18 Desember 2015.
Kesimpulan
Menhub Ignasius Jonan harus menelan pil pahit atas kejadian di atas. Kami melihat cara komunikasi Menhub dalam mensosialisasikan aturan transportasi umum memang kurang gencar dan terlambat. Terlebih inovasi aplikasi online ini telah memberi keuntungan banyak masyarakat sebagai fasilitas transportasi umum.
Di sisi lain, Presiden Jokowi ternyata senang melakukan komunikasi yang gaduh. Buktinya, presiden memprotes kebijakan menterinya melalui social media. Ini yang disayangkan, kenapa tidak telepon langsung tapi melalui social media. Jadi jangan salahkan masyarakat jika menilai komunikasi di lingkungan pemerintahan sangat buruk.
Sebagai seorang praktisi Humas, cara komunikasi yang dilakukan pemerintahan atas kasus ini memang belum menunjukkan komunikasi yang santun. Kondisi ini yang mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) mencari 100 orang Tenaga Humas Pemerintahan. Tujuannya adalah meminimalisir miss communication yang selama ini terjadi di lingkungan pemerintahan.
Mari kita sama-sama mendukung langkah baik itu. Untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik lagi, sesuai dengan ajakan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (PERHUMAS) melalui kampanye #IndonesiaBicaraBaik.
Melihat keputusan di atas mungkin saja Anda sebagai penikmat dan pelaku ojek online pasti marah, bahkan mencaci maki terhadap kebijakan tersebut.
Namun, sehari setelahnya, Menhub Jonan melunak terhadap keputusannya sendiri. Jonan menyadari sarana transportasi publik saat ini belum sepenuhnya bisa melayani kebutuhan masyarakat Indonesia, terutama di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
“Solusinya bagaimana? Kalau ini mau dianggap solusi sementara ya silakan, sampai transportasi publiknya baik,” ujar Jonan, Jumat (18/12). Apakah langkah mantan Dirut KAI itu salah? Tentu tidak..!
Mari kita tengok peraturan yang mengatur tentang transportasi umum. Dasar hukum penyelenggaraan angkutan orang dan angkutan barang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum, dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 69 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang.
Berdasarkan aturan di atas ketegasan Menhub Ignasius Jonan diruntuhkan oleh pernyataan Presiden Jokowi yang memperbolehkan ojek dan taksi online terus beroperasi. Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta pun menilai, Presiden Jokowi mengajak menterinya untuk melanggar undang-undang (UU).
“Padahal menterinya sudah berbuat untuk menegakkan dan menjalankan aturan,” kata Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan, dikutip dari Republika.co.id, Jumat (18/12).
Tidak Koordinasi
Pihak Istana Kepresidenan mengakui pelarangan ojek berbasis online merupakan kewenangan Kementerian Perhubungan yakni tingkat Dirjen Perhubungan Darat. Karena itu kebijakan yang dirilis Menhub tidak lebih dahulu dikoordinasikan kepada Presiden Joko Widodo.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan, Presiden langsung merespon kebijakan tersebut karena pengguna ojek online yang semakin besar jumlahnya atau lebih dari 200 ribu. “Kita merasa Go-Jek dan lainnya harus diberikan apresiasi kemudahan. Jangan malah dilarang,” katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi V DPR, Miryam S Haryani, menilai koordinasi antara Presiden Jokowi dengan Menhub Ignasius Jonan belum berjalan dengan baik. Sikap tersebut semakin menunjukkan bahwa koordinasi antara Presiden dengan Menteri belum berjalan dengan baik. “Terbukti masih seringkali terjadi miss communication di dalamnya, kasus ojek online ini salah satunya,” katanya, dikutip dari Sindonews, Jumat 18 Desember 2015.
Kesimpulan
Menhub Ignasius Jonan harus menelan pil pahit atas kejadian di atas. Kami melihat cara komunikasi Menhub dalam mensosialisasikan aturan transportasi umum memang kurang gencar dan terlambat. Terlebih inovasi aplikasi online ini telah memberi keuntungan banyak masyarakat sebagai fasilitas transportasi umum.
Di sisi lain, Presiden Jokowi ternyata senang melakukan komunikasi yang gaduh. Buktinya, presiden memprotes kebijakan menterinya melalui social media. Ini yang disayangkan, kenapa tidak telepon langsung tapi melalui social media. Jadi jangan salahkan masyarakat jika menilai komunikasi di lingkungan pemerintahan sangat buruk.
Sebagai seorang praktisi Humas, cara komunikasi yang dilakukan pemerintahan atas kasus ini memang belum menunjukkan komunikasi yang santun. Kondisi ini yang mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) mencari 100 orang Tenaga Humas Pemerintahan. Tujuannya adalah meminimalisir miss communication yang selama ini terjadi di lingkungan pemerintahan.
Mari kita sama-sama mendukung langkah baik itu. Untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik lagi, sesuai dengan ajakan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (PERHUMAS) melalui kampanye #IndonesiaBicaraBaik.