PADA tanggal 14 Agustus 2015, untuk pertama kalinya Presiden Joko
Widodo menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan anggota parlemen di
Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta.
Dalam pidatonya, Presiden mengatakan, menipisnya budaya saling menghargai, mengeringnya kultur tenggang rasa, menyebabkan bangsa Indonesia terjebak pada lingkaran ego asing-masing.
“Baik di kalangan masyarakat maupun institusi resmi seperti lembaga penegak hukum, organisasi kemasyarakatan, media, dan partai politik.”
Hal tersebut, lanjut Presiden, sangat berpengaruh dan menghambat program aksi pembangunan, budaya kerja, semangat gotong royong, dan tumbuhnya karakter bangsa. Terlebih, saat ini ada kecendrungan semua orang bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan hanya menyuarakan kepentingan.
“Keadaan ini menjadi kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif,” ungkap Jokowi.
Akibatnya, kata Presiden, masyarakat mudah terjebak pada histeria publik dalam merespons suatu persoalan, khususnya menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional. Tanpa kesantunan politik, tata krama hukum dan ketatanegaraan, serta kedisiplinan ekonomi, bangsa Indonesia akan kehilangan optimisme.
“Selain itu lamban mengatasi persoalan-persoalan lain termasuk tantangan ekonomi yang saat ini sedang dihadapi bangsa Indonesia. Kita akan miskin tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Mendiskritkan Media
Menanggapi isi pidato Presiden kepada media tersebut. Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana menilai pernyataan Presiden Jokowi telah mendiskreditkan media yang berfungsi untuk mengawal dan mengontrol kinerja pemerintah.
Media itu, kata Yadi, fungsinya mengontrol semua kebijakan pemerintah, bukan dikontrol pemerintah. Masih banyak media yang menjalankan fungsinya dengan baik dan memberitakan sesuai fakta.
Sementara itu, Psikolog politik dari Universitas Indonesia (UI) Dewi Haroen menilai, sindiran Presiden tak lepas dari keresahan dirinya sendiri atas perubahan alur pemberitaan yang dulunya sangat menyanjung tinggi. Namun, saat ini berbalik mengkritiknya.
Kondisi tersebut membuat Jokowi secara psikologis terkena post power syndrome. “Secara psikologi politik dia ketakutan orang akan berbalik arah. Siapa pun orangnya, meski manusiawi namun itu tidak benar. Ibaratnya media yang memulai dan yang mengakhiri,” ujarnya dikutip dari Okezone.
Menurut Yadi, Jokowi seharusnya tidak mengganggu kebebasan pers yang selama ini sudah terjalin dengan baik.
Dalam pidatonya, Presiden mengatakan, menipisnya budaya saling menghargai, mengeringnya kultur tenggang rasa, menyebabkan bangsa Indonesia terjebak pada lingkaran ego asing-masing.
“Baik di kalangan masyarakat maupun institusi resmi seperti lembaga penegak hukum, organisasi kemasyarakatan, media, dan partai politik.”
Hal tersebut, lanjut Presiden, sangat berpengaruh dan menghambat program aksi pembangunan, budaya kerja, semangat gotong royong, dan tumbuhnya karakter bangsa. Terlebih, saat ini ada kecendrungan semua orang bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan hanya menyuarakan kepentingan.
“Keadaan ini menjadi kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif,” ungkap Jokowi.
Akibatnya, kata Presiden, masyarakat mudah terjebak pada histeria publik dalam merespons suatu persoalan, khususnya menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional. Tanpa kesantunan politik, tata krama hukum dan ketatanegaraan, serta kedisiplinan ekonomi, bangsa Indonesia akan kehilangan optimisme.
“Selain itu lamban mengatasi persoalan-persoalan lain termasuk tantangan ekonomi yang saat ini sedang dihadapi bangsa Indonesia. Kita akan miskin tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Mendiskritkan Media
Menanggapi isi pidato Presiden kepada media tersebut. Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana menilai pernyataan Presiden Jokowi telah mendiskreditkan media yang berfungsi untuk mengawal dan mengontrol kinerja pemerintah.
Media itu, kata Yadi, fungsinya mengontrol semua kebijakan pemerintah, bukan dikontrol pemerintah. Masih banyak media yang menjalankan fungsinya dengan baik dan memberitakan sesuai fakta.
Sementara itu, Psikolog politik dari Universitas Indonesia (UI) Dewi Haroen menilai, sindiran Presiden tak lepas dari keresahan dirinya sendiri atas perubahan alur pemberitaan yang dulunya sangat menyanjung tinggi. Namun, saat ini berbalik mengkritiknya.
Kondisi tersebut membuat Jokowi secara psikologis terkena post power syndrome. “Secara psikologi politik dia ketakutan orang akan berbalik arah. Siapa pun orangnya, meski manusiawi namun itu tidak benar. Ibaratnya media yang memulai dan yang mengakhiri,” ujarnya dikutip dari Okezone.
Menurut Yadi, Jokowi seharusnya tidak mengganggu kebebasan pers yang selama ini sudah terjalin dengan baik.